BAGI2INFO :
Saat bulan Romadhon datang
Baru saja Aku pulang dari Masjid, ikut sholat Tarawih berjamaah, tiba-tiba HP-ku berdering, siapakah gerangan yang menelpon ? Pikirku, tanpa kubaca layar HP, langsung kuangkat merapatkan ketelingaku, "Asalamualaikum" buat Aku suaranya sangat tidak asing, sekalipun sudah lama sekali kami tidak berkomunikasi. "Walaikum salam," jawabku. Kami ngobrol, lumayan lama juga, mungkin ada 1,5 jam, obrolannya tidak terlalu berat, intinya kangen aja sih, bertanya " Lebaran Aku pulang Kampung nggak ? "
Dia sekarang sudah sukses, hidup di perantauan kota Samarinda Kalimantan timur, disana Ia memiliki beberapa rumah makan yang khusus menyediakan menu masakan Sunda, juga Dieler Mobil, dan puluhan hektar kebun Sawit.
Hidupnya sudah sangat berkecukupan, memiliki beberapa Rumah nan megah dan mobil mewah. Hidup bahagia dengan Istri dan kedua putrinya yang cantik-cantik, tentu berbanding terbalik dengan masa lalunya.
Setelah beberapa tahun tak kunjung kembali terdemgar kabar Ayahnya sudah menjadi orang kaya, menjadi kaya karena menikahi wanita anak seorang juragan Kopi, mertuanya memberikan hak kelola pada semua kebun Kopi serta puluhan Truk yang biasanya akan mengangkut hasil Kopi di saat musim panen.
Istrinya adalah anak tunggal si Juragan.
Ibunya Sule tidak pernah menikah lagi dengan laki-laki yang lain, barangkali trauma. Sule di besarkan oleh Ibunya, kebetulan waktu itu kakeknya masih hidup. Jadi masih terbantu, walau kakeknya hanya seorang pembuat Gula Aren yang bisa di katakan minim hasilnya karena hanya mengandalkan hasil sadapan 2 batang pohon Aren yang hidup di pekarangan belakang rumahnya.
Kakeknya sangat menyayangi Sule, cucu satu-satunya itu, saat Sule berumur 9 tahun, Kakeknya meninggal karena jatuh dari pohon Aren saat sedang mengambil hasil sadapan.
Sejak saat itu juga tinggal Ibunya yang memelihara Sule, Ibunya hanya mengandalkan garapan sawah milik orang lain, sedangkan 2 pohon Aren sudah di serahkan pada tetangganya untuk di kelola, karena Ibunya tidak sanggup untuk menaiki pohon Aren yang sangat tinggi, satu-satunya alat bantu untuk naik pohon itu adalah sebatang Bambu yang di lubangi hanya sebatas Jempol kaki manusia di setiap atas buku Bambu, jadi menaikinya dengan cara memasukan jempol kaki ke lubang-lubang itu secara bergantian, tentu saja Sule terlalu kecil untuk melakukan pekerjaan seperti itu, jadi Ibunya hanyak mendapatkan separuh dari hasil pembuatan Gula Aren.
Sule pernah tidak sekolah selama satu tahun. Waktu itu Sule lulus SD tapi karena Ibunya sering sakit-sakitan, dan otomatis kondisi keuangan keluarga sangat terganggu, tapi tahun berikutnya Sule bisa melanjutkan sekolahnya ketingkat SMP, dan itupun karena 2 pohon Aren peninggalan Kakeknya di jual pada orang lain, tapi hanya pohon Aren saja, sedangkan tanah masih tetap milik Ibunya.
Masa-masa remaja si Sule, seperti remaja kampung pada umumnya di Desa Ranca bolang, pagi-pagi menjelang Subuh, Sule dan teman-teman pergi ke Masjid untuk menunaikan Sholat di lanjutkan mengaji Al Qur'an, setelah itu di lanjutkan mencari rumput untuk Kambing tetangganya, untuk satu karung penuh Rumput Sule mendapat upah 500 rupiah tiap harinya, setelah itu mandi dan berangkat sekolah, sepulangnya dari sekolah langsung ke Masjid sholat Dhuhur, setelah makan di lanjutkan dengan bekerja, kadang mencangkul, jika ada orang yang memintanya, apa saja di lakukan sesuai permintaan orang.
Sule termasuk Anak yang di sukai oleh semua orang di kampung itu, selain karena rajin dan pandai mengaji, Sule jika di mintai pertolongan oleh orang, apapun itu dia akan mengerjakan dengan tanggung jawab dan cepat, Sule juga tidak akan mematok harga hasil kerjaanya.
Setelah lulus Sekolah SMP ada saudara sepupu Ibunya Sule mengajak untuk tinggal di rumah saudaranya itu, tempatnya di Kawalu, masih di Tasikmalaya kurang dan lebih 1 jam perjalanan dari kampung Ranca bolang ke Kawalu.
Tempat ini terkenal dengan Industri rumahan Bordir, selain di biayai sekolahnya Sule juga di ijinkan bekerja sebagai tenaga kebersihan, terkadang juga ikut dalam pengepakan kain Bordir.
Sule memanggilnya dengan sebutan Wak, kepada saudara sepupu Ibunya itu, beliau termasuk orang yang sukses dalam bidang per Bordiran, pemasaranya sudah hampir ke seluruh Indonesia.
Bahkan sudah mengekspor ke negara Malaysia.
Sebelum berangkat kesekolah Sule punya kewajiban rutin yaitu membersihkan tempat di mana para pekerja mengerjakan Bordiran, begitu juga seusai pulang Sekolah, Sule akan bekerja lagi, pekerjaanya macam-macam bisa di bilang serabutan.
Pekerjaan kadang baru selesai pada tengah malam, terasa melelahkan pekerjaan Sule, tetapi itulah konsekwesi dari apa yang di sepakati, agar Sule bisa sekolah. Sule juga akan mendapatkan upah 2 minggu sekali, itu cukup untuk jajan dan mengirim uang pada Ibunya.
Sebenarnya Sule juga ingin seperti teman-teman yang lain, seperti bermain sepulang sekolah atau mengikuti kursus-kursus, tapi rasanya tidak mungkin.
Bahkan hampir tidak pernah Sule mengerjakan PR-nya di rumah, karena hampir tidak ada waktu untuk itu, seolah ada saja yang harus di kerjakan.
Biasanya Sule mengerjakan PR-nya di sekolah sebelum jam pelajaran mulai, itu pun karena kebaikan teman-teman sekelasnya, tapi tidak jarang juga Sule di hukum oleh Gurunya karena Sule tidak mengerjakan PR, biasanya karena terlambat masuk sekolah, sangsi yang di berikan dari mulai lari mengelilingi lapangan Basket, sampai hormat Bendera, suatu hari Sule terlambat perg ke Sekolah di tengah perjalanan bertemu dengan teman sekelasnya, Ia mengajak Sule bolos Sekolah, hari itu ada pelajaran Matematika dan Sule seperti biasanya belum mengerjakan PR, karena merasa bosan mendapatkan hukuman, Sule menerima ajakan temanya, mereka ke Alun-alun Tasikmalaya di situlah Sule mulai belajar merokok dan melakukan hal-hal baru yang belum pernah Sule lakukan sebelumnya.
Ganja dan minuman beralkohol sudah jadi konsumsi wajib hari-harinya, Sule tidak pernah mengeluarkan uang untuk itu semua karena teman itulah yang menjadi sponsor, Sule sudah berubah.
Sampai akhirnya Sule lulus SMA kemudian Teman yang biasa menjadi penyandang dana melanjutkan Kuliah di luar negeri, Sule sudah jadi pecandu, beberapa kali Sule merantau ke Kota besar, seperti Surabaya, Medan, Jakarta di sana bekerja serabutan pernah jadi kuli bangunan, Tukang parkir dan karena kecanduanya itu, bekerjanya tidak bertahan lama, di pecat.
Hidup di Rancabolang kampung kelahiranya Sule masih belum berhenti mengkonsumi minuman keras dan Ganja, Ia tidak mau lagi bekerja. Bisanya hanya meminta kepada Ibunya, bahkan beberapa kali Sule menjual tanaman pohon Albasia yang di tanam oleh Ibunya, Ibunya tidak dapat berbuat apa-apa pada anak semata wayang yang sangat di sayanginya itu. Hampir setiap hari kerjanya cuma mabuk, Ibu Sule tidak pernah tau kemana pergi anaknya itu, setiap pulang kondisinya mabuk, sering kali Ibunya menemukan Sule terkulai di Babancik ( Tangga yang terbuat dari papan, memanjang sering di gunakan untuk duduk-duduk santai ) depan Rumahnya di pagi yang masih gelap.
Pagi itu keadaannya masih gelap, hujan yang hanya gerimis tidak kunjung berhenti dari sore hari. Sule dari semalam juga tidak kemana-mana karena sudah tidak ada uang, dan Sule seperti biasa meminta uang pada Ibunya, tapi karena Ibunya sama sekali tidak memiliki uang karena sudah beberapa hari tidak bekerja karena sakit, Ibunya pun tidak dapat memberi, Ibunya mengatakan besok pagi pukul 09:00 berencana mau menjual Ayam jantan satu-satunya untuk berobat, tadinya Ibu Sule banyak memiliki Ayam peliharaan, tapi karena sering di curi oleh anaknya sendiri. Pagi itu sangat dingin sekali, hujan gerimis di sertai gemuruh dan petir seolah menampar bumi, Sule meringkuk tidur kedinginan di atas tempat tidur terbuat Bambu yang reot di tengah Rumah. " Ash shalaatu khoirum minan naum " azan Subuh berkumadang, Ibu Sule mendekati dan menggoyang-goyangkan kaki anaknya itu, " Jang, gugah, Subuhan heula " ucap ibunya.
" Cicing Ma " bentak Sule sambil menarik kakinya meringkuk lagi, Ibunya hanya menahan nafas sambil mengusap dada dan meninggalkan anaknya itu.
Keesokannya saat Ibu Sule sedang di sibuk mencuci Baju di Jamban atas kolam Ikan dekat Rumah, Sule diam-diam mencuri Ayam Jantan milik Ibunya, yang terkurung dalam kandang lalu pergi begitu saja.
Di suatu tempat saat Sule bermaksud menjual Ayam milik Ibunya tiba-tiba ada segerombolan orang berteriak kearahnya, " Maling, maling, maling " dan tanpa berbasa basi orang-orang tersebut menghajar habis-habisan tanpa ampun sampai akhirnya ada Tokoh masyarakat yang melerai dan menghentikan orang-orang itu. Kemudian Sule di tanya-tanya perihal Ayamnya dan Sule menjawab pertanyaan itu.
Kemudian Sule di antarkan sampai Jalan raya dan di berikan Uang 200 ribu untuk perobatan.
Sule naik Bus bermaksud pulang ke rumah Ibunya, ingin mengembalikan Ayam dan minta maaf, Sule membayangkan seharusnya Ibunya saat ini ada di Puskesmas untuk berobat, tapi karena Ayam yang akan di jual, dan untuk ongkos Ia curi, Ibunya pasti hanya di rumah saja, tiba-tiba Sule meneteskan air mata, Ia begitu merindukan Ibunya, Ia berniat meminta maaf dengan membasuh kedua kaki Ibunya nanti di rumah.
Di pertengahan Jalan sang Kondektur menghampirinya untuk meminta onkos, " Kamana Kang " tanya sang Kondektur, " Rancabolang " Sule menjawab sambil menyodorkan ongkos. " Rancabolang " sang Kondektur mengulang ucapan Sule dengan ekpresi kaget. " ceunah aya Tanah longsor di ditu kang, nembe wae, banyak rumah yang kena, " kata sang Kondektur lagi.
Tiba-tiba Sule merasa cemas, apalagi saat tiba di Rancabolang begitu ramai kerumunan orang, saat turun dari Bus Sule langsung berlari, Ayamnya di lempar begitu saja, Ia tidak menemukan Rumahnya karena sudah terlihat rata.
Kemudian ada orang yang menghampirinya sambil menuntun kesuatu tempat, " Sule, maneh sing sabar nya, " kata orang tersebut sambil menujuk sosok terbujur kaku yang sudah terbungkus kain Kafan, " Emak...emak, " Sule memanggil-manggil Ibunya, rasa sesal begitu mendera, karena keinginan untuk meminta maaf dan membasuh kedua kaki ibunya tak terwujud.
Saat bulan Romadhon datang
Baru saja Aku pulang dari Masjid, ikut sholat Tarawih berjamaah, tiba-tiba HP-ku berdering, siapakah gerangan yang menelpon ? Pikirku, tanpa kubaca layar HP, langsung kuangkat merapatkan ketelingaku, "Asalamualaikum" buat Aku suaranya sangat tidak asing, sekalipun sudah lama sekali kami tidak berkomunikasi. "Walaikum salam," jawabku. Kami ngobrol, lumayan lama juga, mungkin ada 1,5 jam, obrolannya tidak terlalu berat, intinya kangen aja sih, bertanya " Lebaran Aku pulang Kampung nggak ? "
Dia sekarang sudah sukses, hidup di perantauan kota Samarinda Kalimantan timur, disana Ia memiliki beberapa rumah makan yang khusus menyediakan menu masakan Sunda, juga Dieler Mobil, dan puluhan hektar kebun Sawit.
Hidupnya sudah sangat berkecukupan, memiliki beberapa Rumah nan megah dan mobil mewah. Hidup bahagia dengan Istri dan kedua putrinya yang cantik-cantik, tentu berbanding terbalik dengan masa lalunya.
Nama aslinya Dede Sulaiman tapi dari kecil dia di panggil Sule, aslinya orang Sunda. Rancabolang adalah nama kampung dimana dia di lahirkan letaknya di pinggiran kota Tasikmalaya dan di situlah dia di besarkan, saat usianya 3 bulan Ayahnya meninggalkan Ia dan Ibunya, menurut cerita Ibunya, Ayahnya dulu berpamitan merantau ke Lampung, ingin merubah nasip meningkatkan taraf hidup yang lebih baik, tapi sejak saat itu Ayahnya tidak pernah kembali lagi, padahal dulu pernah berjanji akan menjemput Istri dan Anaknya. |
Istrinya adalah anak tunggal si Juragan.
Ibunya Sule tidak pernah menikah lagi dengan laki-laki yang lain, barangkali trauma. Sule di besarkan oleh Ibunya, kebetulan waktu itu kakeknya masih hidup. Jadi masih terbantu, walau kakeknya hanya seorang pembuat Gula Aren yang bisa di katakan minim hasilnya karena hanya mengandalkan hasil sadapan 2 batang pohon Aren yang hidup di pekarangan belakang rumahnya.
Kakeknya sangat menyayangi Sule, cucu satu-satunya itu, saat Sule berumur 9 tahun, Kakeknya meninggal karena jatuh dari pohon Aren saat sedang mengambil hasil sadapan.
Sejak saat itu juga tinggal Ibunya yang memelihara Sule, Ibunya hanya mengandalkan garapan sawah milik orang lain, sedangkan 2 pohon Aren sudah di serahkan pada tetangganya untuk di kelola, karena Ibunya tidak sanggup untuk menaiki pohon Aren yang sangat tinggi, satu-satunya alat bantu untuk naik pohon itu adalah sebatang Bambu yang di lubangi hanya sebatas Jempol kaki manusia di setiap atas buku Bambu, jadi menaikinya dengan cara memasukan jempol kaki ke lubang-lubang itu secara bergantian, tentu saja Sule terlalu kecil untuk melakukan pekerjaan seperti itu, jadi Ibunya hanyak mendapatkan separuh dari hasil pembuatan Gula Aren.
Sule pernah tidak sekolah selama satu tahun. Waktu itu Sule lulus SD tapi karena Ibunya sering sakit-sakitan, dan otomatis kondisi keuangan keluarga sangat terganggu, tapi tahun berikutnya Sule bisa melanjutkan sekolahnya ketingkat SMP, dan itupun karena 2 pohon Aren peninggalan Kakeknya di jual pada orang lain, tapi hanya pohon Aren saja, sedangkan tanah masih tetap milik Ibunya.
Masa-masa remaja si Sule, seperti remaja kampung pada umumnya di Desa Ranca bolang, pagi-pagi menjelang Subuh, Sule dan teman-teman pergi ke Masjid untuk menunaikan Sholat di lanjutkan mengaji Al Qur'an, setelah itu di lanjutkan mencari rumput untuk Kambing tetangganya, untuk satu karung penuh Rumput Sule mendapat upah 500 rupiah tiap harinya, setelah itu mandi dan berangkat sekolah, sepulangnya dari sekolah langsung ke Masjid sholat Dhuhur, setelah makan di lanjutkan dengan bekerja, kadang mencangkul, jika ada orang yang memintanya, apa saja di lakukan sesuai permintaan orang.
Sule termasuk Anak yang di sukai oleh semua orang di kampung itu, selain karena rajin dan pandai mengaji, Sule jika di mintai pertolongan oleh orang, apapun itu dia akan mengerjakan dengan tanggung jawab dan cepat, Sule juga tidak akan mematok harga hasil kerjaanya.
Setelah lulus Sekolah SMP ada saudara sepupu Ibunya Sule mengajak untuk tinggal di rumah saudaranya itu, tempatnya di Kawalu, masih di Tasikmalaya kurang dan lebih 1 jam perjalanan dari kampung Ranca bolang ke Kawalu.
Tempat ini terkenal dengan Industri rumahan Bordir, selain di biayai sekolahnya Sule juga di ijinkan bekerja sebagai tenaga kebersihan, terkadang juga ikut dalam pengepakan kain Bordir.
Sule memanggilnya dengan sebutan Wak, kepada saudara sepupu Ibunya itu, beliau termasuk orang yang sukses dalam bidang per Bordiran, pemasaranya sudah hampir ke seluruh Indonesia.
Bahkan sudah mengekspor ke negara Malaysia.
Sebelum berangkat kesekolah Sule punya kewajiban rutin yaitu membersihkan tempat di mana para pekerja mengerjakan Bordiran, begitu juga seusai pulang Sekolah, Sule akan bekerja lagi, pekerjaanya macam-macam bisa di bilang serabutan.
Pekerjaan kadang baru selesai pada tengah malam, terasa melelahkan pekerjaan Sule, tetapi itulah konsekwesi dari apa yang di sepakati, agar Sule bisa sekolah. Sule juga akan mendapatkan upah 2 minggu sekali, itu cukup untuk jajan dan mengirim uang pada Ibunya.
Sebenarnya Sule juga ingin seperti teman-teman yang lain, seperti bermain sepulang sekolah atau mengikuti kursus-kursus, tapi rasanya tidak mungkin.
Bahkan hampir tidak pernah Sule mengerjakan PR-nya di rumah, karena hampir tidak ada waktu untuk itu, seolah ada saja yang harus di kerjakan.
Biasanya Sule mengerjakan PR-nya di sekolah sebelum jam pelajaran mulai, itu pun karena kebaikan teman-teman sekelasnya, tapi tidak jarang juga Sule di hukum oleh Gurunya karena Sule tidak mengerjakan PR, biasanya karena terlambat masuk sekolah, sangsi yang di berikan dari mulai lari mengelilingi lapangan Basket, sampai hormat Bendera, suatu hari Sule terlambat perg ke Sekolah di tengah perjalanan bertemu dengan teman sekelasnya, Ia mengajak Sule bolos Sekolah, hari itu ada pelajaran Matematika dan Sule seperti biasanya belum mengerjakan PR, karena merasa bosan mendapatkan hukuman, Sule menerima ajakan temanya, mereka ke Alun-alun Tasikmalaya di situlah Sule mulai belajar merokok dan melakukan hal-hal baru yang belum pernah Sule lakukan sebelumnya.
Ganja dan minuman beralkohol sudah jadi konsumsi wajib hari-harinya, Sule tidak pernah mengeluarkan uang untuk itu semua karena teman itulah yang menjadi sponsor, Sule sudah berubah.
Sampai akhirnya Sule lulus SMA kemudian Teman yang biasa menjadi penyandang dana melanjutkan Kuliah di luar negeri, Sule sudah jadi pecandu, beberapa kali Sule merantau ke Kota besar, seperti Surabaya, Medan, Jakarta di sana bekerja serabutan pernah jadi kuli bangunan, Tukang parkir dan karena kecanduanya itu, bekerjanya tidak bertahan lama, di pecat.
Hidup di Rancabolang kampung kelahiranya Sule masih belum berhenti mengkonsumi minuman keras dan Ganja, Ia tidak mau lagi bekerja. Bisanya hanya meminta kepada Ibunya, bahkan beberapa kali Sule menjual tanaman pohon Albasia yang di tanam oleh Ibunya, Ibunya tidak dapat berbuat apa-apa pada anak semata wayang yang sangat di sayanginya itu. Hampir setiap hari kerjanya cuma mabuk, Ibu Sule tidak pernah tau kemana pergi anaknya itu, setiap pulang kondisinya mabuk, sering kali Ibunya menemukan Sule terkulai di Babancik ( Tangga yang terbuat dari papan, memanjang sering di gunakan untuk duduk-duduk santai ) depan Rumahnya di pagi yang masih gelap.
Pagi itu keadaannya masih gelap, hujan yang hanya gerimis tidak kunjung berhenti dari sore hari. Sule dari semalam juga tidak kemana-mana karena sudah tidak ada uang, dan Sule seperti biasa meminta uang pada Ibunya, tapi karena Ibunya sama sekali tidak memiliki uang karena sudah beberapa hari tidak bekerja karena sakit, Ibunya pun tidak dapat memberi, Ibunya mengatakan besok pagi pukul 09:00 berencana mau menjual Ayam jantan satu-satunya untuk berobat, tadinya Ibu Sule banyak memiliki Ayam peliharaan, tapi karena sering di curi oleh anaknya sendiri. Pagi itu sangat dingin sekali, hujan gerimis di sertai gemuruh dan petir seolah menampar bumi, Sule meringkuk tidur kedinginan di atas tempat tidur terbuat Bambu yang reot di tengah Rumah. " Ash shalaatu khoirum minan naum " azan Subuh berkumadang, Ibu Sule mendekati dan menggoyang-goyangkan kaki anaknya itu, " Jang, gugah, Subuhan heula " ucap ibunya.
" Cicing Ma " bentak Sule sambil menarik kakinya meringkuk lagi, Ibunya hanya menahan nafas sambil mengusap dada dan meninggalkan anaknya itu.
Keesokannya saat Ibu Sule sedang di sibuk mencuci Baju di Jamban atas kolam Ikan dekat Rumah, Sule diam-diam mencuri Ayam Jantan milik Ibunya, yang terkurung dalam kandang lalu pergi begitu saja.
Di suatu tempat saat Sule bermaksud menjual Ayam milik Ibunya tiba-tiba ada segerombolan orang berteriak kearahnya, " Maling, maling, maling " dan tanpa berbasa basi orang-orang tersebut menghajar habis-habisan tanpa ampun sampai akhirnya ada Tokoh masyarakat yang melerai dan menghentikan orang-orang itu. Kemudian Sule di tanya-tanya perihal Ayamnya dan Sule menjawab pertanyaan itu.
Kemudian Sule di antarkan sampai Jalan raya dan di berikan Uang 200 ribu untuk perobatan.
Sule naik Bus bermaksud pulang ke rumah Ibunya, ingin mengembalikan Ayam dan minta maaf, Sule membayangkan seharusnya Ibunya saat ini ada di Puskesmas untuk berobat, tapi karena Ayam yang akan di jual, dan untuk ongkos Ia curi, Ibunya pasti hanya di rumah saja, tiba-tiba Sule meneteskan air mata, Ia begitu merindukan Ibunya, Ia berniat meminta maaf dengan membasuh kedua kaki Ibunya nanti di rumah.
Di pertengahan Jalan sang Kondektur menghampirinya untuk meminta onkos, " Kamana Kang " tanya sang Kondektur, " Rancabolang " Sule menjawab sambil menyodorkan ongkos. " Rancabolang " sang Kondektur mengulang ucapan Sule dengan ekpresi kaget. " ceunah aya Tanah longsor di ditu kang, nembe wae, banyak rumah yang kena, " kata sang Kondektur lagi.
Tiba-tiba Sule merasa cemas, apalagi saat tiba di Rancabolang begitu ramai kerumunan orang, saat turun dari Bus Sule langsung berlari, Ayamnya di lempar begitu saja, Ia tidak menemukan Rumahnya karena sudah terlihat rata.
Kemudian ada orang yang menghampirinya sambil menuntun kesuatu tempat, " Sule, maneh sing sabar nya, " kata orang tersebut sambil menujuk sosok terbujur kaku yang sudah terbungkus kain Kafan, " Emak...emak, " Sule memanggil-manggil Ibunya, rasa sesal begitu mendera, karena keinginan untuk meminta maaf dan membasuh kedua kaki ibunya tak terwujud.
0 komentar: